*POSTING EDISI RAMADHAN*
Bulan Ramadhan mempunyai nilai khusus di hati Ummat Islam
berhubung di bulan tersebut ada nilai ibadah yang sangat tinggi. Semangat Ummat
Islam di seluruh dunia bangkit untuk beribadah kepada Allah ketika bulan ini
datang. Oleh karena itu, Ummat Islam harus mengerti apa keterangan yang pasti
dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits tentang apa keutamaan Ramadhan di sisi Allah yang
bisa diraih oleh Ummat Islam. Sebab untuk mengamalkan agama Allah itu menurut
Islam haruslah di atas dasar ilmu dan tidak boleh ikut-ikutan. Dan ilmu yang
pasti dalam pandangan Islam tentang berbagai keutamaan yang ada di sisi Allah
Ta`ala adalah hanya yang datang dari Al-Qur’an dan Hadits Shahih saja.
BEBERAPA KEUTAMAAN BULAN RAMADHAN
Berikut ini kami berupaya menyajikan kepada segenap pembaca
yang budiman berbagai berita dari Al-Qur’an dan Hadits Shahih tentang keutamaan
Ramadhan dan keutamaan amalan ibadah yang dilakukan di bulan itu. Agar kiranya
dengan penyajian ini para pembaca yang budiman akan semakin mencintai bulan
Ramadhan dan lebih semangat dalam menyambut dan meramaikan bulan tersebut
dengan berlomba-lomba beramal shalih karena Allah Ta`ala semata.
Allah Ta`ala menegaskan tentang keutamaan bulan Ramadhan
dalam firman-Nya di surat Al-Baqarah 185:
“Bulan Ramadhan adalah bulan yang diturunkan padanya
Al-Qur’an sebagai petunjuk kepada sekalian manusia dan sebagai keterangan dari
petunjuk dan furqan. Maka barangsiapa dari kalian menyaksikan bulan tersebut,
maka hendaklah dia berpuasa.” (Al-Baqarah: 185)
Maka keutamaan yang paling utama bagi bulan Ramadhan ialah
dipilihnya bulan tersebut oleh Allah sebagai bulan diturunkannya Al-Qur’an.
Al-Hafidh Ibnu Katsir dalam Tafsir beliau menerangkan ayat ini dengan
hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (pada hadits no: 17109)
dengan sanadnya yang bersambung sampai pada Watsilah bin Al-Asqa’ radliyallahu
`anhu. Beliau memberitakan bahwa Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi
wa sallam bersabda:
“Diturunkan Shuhuf Ibrahim pada malam pertama di bulan
Ramadhan, dan diturunkannya Taurat pada enam hari pertama bulan Ramadhan, dan
Injil diturunkan pada hari ke tiga belas bulan Ramadhan, dan diturunkannya
Al-Qur’an pada hari ke dua puluh empat dari bulan Ramadhan.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya)
Ditambahkan pula oleh Ibnu Katsir beberapa riwayat dengan
sanad yang bersambung sampai kepada Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma bahwa
beliau memberitakan: “Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan pada malam yang
mulia (lailatul qadar, yaitu malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir
bulan Ramadhan, pent). Dengan sekaligus seluruhnya diturunkan ke langit dunia,
kemudian setelah itu Allah berbicara dengan Nabi-Nya apa yang dikehendaki-Nya
(dengan menurunkan ayat demi ayat dari Al-Qur’an itu kepada NabiNya, pent). Dan
orang musyrik tidaklah datang mendebat Nabi-Nya kecuali Allah selalu menurunkan
ayat Al-Qur’an untuk membantahnya.”
Al-Imam Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali An-Nasa’i
dalam Sunannya hadits ke 2106 dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu bahwa
Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda:
“Telah datang kepada kalian Ramadhan, ia adalah bulan yang
diberkahi oleh Allah. Padanya Allah `Azza wa Jalla mewajibkan atas kalian untuk
berpuasa. Dalam bulan ini dibuka pintu-pintu langit dan ditutup padanya pintu
neraka jahannam dan dibelenggu pada bulan ini segala tipu daya syaithan. Bagi
Allah pada bulan ini ada satu malam yang nilainya lebih baik daripada seribu
bulan. Barangsiapa yang diharamkan dari kebaikan bulan ini, maka sungguh dia
diharamkan dari segala kebaikan.” (HR. An-Nasa’i dalam Sunannya
juz 3 hal. 434 – 435 no. 2105 dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu)
Dalam riwayat lain dari An-Nasa’i juga Abu Hurairah radliyallahu
`anhu meriwayatkan sabda Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam
dengan lafadh:
“Apabila masuk bulan Ramadhan, dibukalah oleh Allah
pintu-pintu rahmat Allah.” (HR. An-Nasa’i dalam Sunannya juz 3 hal. 434
no. hadits 2104 dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu)
Dalam riwayat yang lainnya lagi An-Nasa’i, dari Abu Hurairah
bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda:
“Apabila masuk bulan Ramadhan, dibukalah pintu sorga.” (HR.
An-Nasa’i dalam Sunannya juz 3 hal. 434 no. hadits 2103 dari Abu
Hurairah radliyallahu `anhu)
Jadi dibukanya pintu-pintu langit itu adalah untuk turunnya
rahmat Allah kepada kaum Mukminin dan dengan rahmat Allah itu pula orang Mukmin
masuk sorga. Rahmat Allah bagi kaum Mukminin itu dalam bentuk ampunan Allah
Ta`ala terhadap dosa-dosa kaum Mukminin di masa lalunya. Hal ini sebagaimana
diterangkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam
sabda beliau:
“Antara satu shalat dengan shalat yang lima waktu adalah
pengampunan terhadap dosa yang terjadi diantaranya, antara ibadah Shalat Jum’at
dengan Jum’at berikutnya adalah pengampunan terhadap dosa yang terjadi di
antaranya, antara bulan Ramadhan dengan bulan Ramadhan berikutnya adalah
pengampunan terhadap dosa yang terjadi diantaranya, bila dijauhi dosa-dosa
besar.” (HR. Muslim dalam Shahihnya juz 1 hal. 218 hadits ke 233 dari
Abi Hurairah radliyallahu `anhu).
Pengampunan Allah Ta`ala terhadap dosa-dosa kaum Mukminin di
bulan Ramadhan adalah sebagai rahmat Allah untuk mereka, dikarenakan kaum
Mukminin menjalankan kewajiban puasa Ramadhan. Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena
mengimani bahwa puasa di bulan itu wajib dan karena mengharapkan pahala dari
sisi Allah, maka dia diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya
hadits ke 38 dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu).
Dalam riwayat lain Al-Bukhari meriwayatkan dari Abi Hurairah
juga bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang menunaikan qiyamullail (yakni
shalat tarawih) dengan iman bahwa shalat itu dicintai oleh Allah dan
mengharapkan pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya di masa lalu.”
(HR. Bukhari dalam Shahihnya, lihat Fathul Bari, jilid 1 hal. 92
hadits ke 37).
Maka dengan demikian, pengampunan Allah terhadap dosa-dosa
kaum Mukminin di bulan Ramadhan itu di samping karena mereka menjalankan
kewajiban puasa pada siang harinya, juga karena menjalankan amalan sunnah yaitu
menunaikan shalat tarawih pada malam harinya. Sebaliknya, orang-orang yang
tidak mendapatkan keutamaan bulan Ramadhan ini, adalah orang-orang yang
melalaikan kewajiban puasa bulan Ramadhan dan juga melalaikan shalat tarawih.
Orang-orang yang demikian inilah yang dikatakan telah diharamkan untuk
mendapatkan keutamaan tersebut dan dengan sebab itu mereka diharamkan dari
segala keutamaan Allah di bulan yang lainnya.
Bulan Ramadhan adalah bulan penggandaan pahala amalan shalih
setiap Mukmin, hal ini telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi
wa alihi wasallam:
“Demi yang diriku ada di tangan-Nya, sungguh bau tak sedap
yang keluar dari mulut orang yang sedang berpuasa itu di sisi Allah lebih wangi
dari baunya minyak wangi misik. Allah berfirman: Orang berpuasa itu
meninggalkan syahwatnya dan makanannya dan minumannya karena Aku. Maka
amalan-amalan puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Setiap
amalan baik Aku balas dengan sepuluh kali lipat pahalanya sampai tujuratus kali
lipat, kecuali puasa. Karena puasa itu adalah untukKu dan Aku sendiri yang akan
memberi ganjarannya.” (HR. Malik bin Anas Al-Ashbahi dalam Muwattha’nya
no. 603, lihat At-Tamhid juz 7 no. 468 dari Abu Hurairah radliyallahu
`anhu).
Al-Imam Ibnu Abdil Bar rahimahullah menjelaskan dalam
At-Tamhid jilid 7 halaman 471 sebagai berikut: “Maknanya, wallahu
a’lam, bahwa puasa itu tidaklah tampak dari amalan anak Adam dalam bentuk
perkataan dan perbuatan. Hanyalah sesungguhnya ia dinamakan puasa karena niatan
yang ada di lipatan hati pelakunya yang tidak diketahui kecuali oleh Allah. Dan
bukanlah puasa itu dari amalan yang nampak sehingga bisa dicatat sebagai amalan
shalih oleh Malaikat pemelihara catatan amal, sebagaimana biasanya amalan dzikir,
shalat, shadaqah dan segenap amalan-amalan yang lainnya. Karena yang dinamakan
puasa itu menurut Syari’ah Islamiyah tidaklah hanya dalam bentuk amalan menahan
makan dan minum (dan juga menahan syahwat kepada istri –pent). Karena setiap
orang yang menahan diri dari makan dan minum, apabila tidak berniat dengan
amalan itu untuk wajah Allah, dan tidak pula berkeinginan dalam menjalankan
kewajiban puasa itu atau amalan sunnahnya itu untuk Allah, maka tidaklah orang
yang mempunyai amalan demikian ini dinamakan beribadah puasa dalam pandangan
Syari’ah-Nya. Oleh karena inilah kami telah katakan di atas, bahwa amalan
ibadah puasa itu tidak bisa dideteksi secara lengkap oleh Malaikat pencatat
amalan dan tidak dicatat oleh mereka, akan tetapi Allah sendiri yang tahu
tentangnya dan Dia sendiri yang akan mengganjarnya dengan melipatgandakan
pahala bagi hamba-Nya itu sekehendak-Nya.”
Di samping puasa itu merupakan amalan penghapus dosa dan
melipatgandakan pahala pelakunya dengan tak terhingga melebihi lipatan ganjaran
amalan shalih lainnya, juga puasa adalah tameng bagi kaum Mukminin. Hal ini
telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam
dalam sabda beliau berikut ini:
“Puasa itu adalah tameng, maka janganlah orang yang berpuasa
itu berkata dengan perkataan yang keji dan jangan pula berbuat dengan perbuatan
orang bodoh. Dan bila ada orang yang mengajak berkelahi dengannya atau
mencaci-makinya, maka hendaknya dia mengatakan: aku sedang berpuasa, aku sedang
berpuasa.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya lihat Fathul Bari juz 4
hal. 103 hadits ke 1894 dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu).
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah
menerangkan hadits ini dengan menukil berbagai riwayat. Maka dari keterangan
beliau itu dapat disimpulkan berikut ini:
Puasa itu adalah tameng yang membentengi pelakunya dari
bahaya api neraka. Juga ia adalah tameng dari berbagai godaan amalan maksiat,
karena puasa itu semakin memperlemah hawa nafsu. Sedangkan perbuatan maksiat
yang dilakukan oleh orang yang berpuasa itu akan menggerogoti fungsi puasanya
sebagai tameng baginya dari api neraka. Kemudian Ibnu Hajar Al-Asqalani
menambahkan: “Kesimpulannya ialah, bila orang yang berpuasa itu mampu menahan
dirinya dari berbagai godaan syahwat di dunia, maka dia dengan amalan itu akan
menjadi dinding baginya dari api neraka di akhirat.”
Bulan Ramadhan juga adalah bulan yang sangat diutamakan
padanya membaca Al-Qur’an. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam sebagaimana diberitakan oleh Al-Imam Muhammad bin
Ismail Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya sebagai berikut.
Ibnu Abbas radliyallahu `anhu telah mengatakan: “Nabi shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam adalah orang yang paling senang berbuat kebaikan,
dan beliau biasanya di bulan Ramadhan lebih senang lagi dalam berbuat kebaikan,
dimana di bulan ini Malaikat Jibril menjumpainya. Jibril `alaihis salam
selalu menjumpainya setiap malam selama bulan Ramadhan sampai berakhirnya bulan
itu, maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam
kesempatan setiap malam itu memperdengarkan bacaan Al-Qur’an beliau kepada
Jibril (untuk dikoreksinya). Dan apabila Jibril menjumpainya, beliau sangat
bersemangat beramal shalih sampai seakan cepatnya perjalanan angin yang
berhembus.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya hadits no. 1902 dan Muslim
dalam Shahihnya hadits no. 2308).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan apa yang
bisa diambil pelajaran dari hadits ini: "Di dalam hadits ini ada beberapa
kegunaan, sebagiannya adalah keterangan tentang besarnya semangat Nabi shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam dalam berbuat kebaikan. Juga pelajaran yang
berguna dari hadits ini adalah disunnahkannya memperbanyak berbuat baik di
bulan Ramadhan. Kemudian juga bahwa bertambahnya semangat berbuat baik itu akan
tumbuh kalau berjumpa orang-orang shalih dan beberapa saat setelah perjumpaan
itu karena terpengaruh dengan perjumpaan itu. Dan pelajaran lain yang bisa
ditarik adalah disunnahkan untuk saling membacakan Al-Qur’an
di bulan Ramadhan itu."
KEUTAMAAN LAILATUL QADAR
Di samping berbagai keutamaan yang disebutkan di atas, ada
pula keutamaan yang paling istimewa bagi kaum Mukminin di bulan Ramadhan. Yaitu
satu malam yang penuh kemuliaan bahkan merupakan puncak kemuliaan bulan
Ramadhan dan puncak kemuliaan segala hari di sepanjang tahun. Malam tersebut
dinamakan Lailatul Qadar. Allah Ta`ala berfirman tentang Lailatul
Qadar:
“Sesungguhnya Kami turunkan Al-Qur’an ini pada malam Lailatul
Qadar. Dan tahukah kamu, apa itu Lailatul Qadar. Lailatul Qadar
itu nilainya lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu para Malaikat Allah
turun berduyun-duyun didampingi ruh yang mulia dengan izin Tuhan mereka untuk
mengerjakan berbagai urusan. Malam itu sejahtera sampai terbitnya fajar.”
(Al-Qadar: 1 – 5).
Malam Lailatul Qadar ini dinamakan juga oleh Allah
Ta`ala sebagai malam yang diberkahi oleh-Nya. Hal ini sebagaimana diberitakan
oleh Allah dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami turunkan Al-Qur’an itu di malam yang
diberkahi.” (Ad-Dukhan: 3)
Dan Lailatul Qadar itu yang telah dipastikan bahwa
padanya diturunkan Al-Qur’an, terjadinya telah dipastikan oleh Allah Ta`ala
dalam bulan Ramadhan, sebagaimana firman-Nya:
“Bulan Ramadhan itu adalah bulan yang turun padanya
Al-Qur’an.” (Al-Baqarah: 185)
Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa menunaikan shalat malam di malam Lailatul
Qadar, dengan iman (yakni yakin kepada berita tentang keutamaan malam itu)
dan mengharapkan pahala dan keutamaannya dari sisi Allah, maka dia diampuni
dosa-dosanya di masa lalu.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya, lihat Fathul
Bari juz 4 hal. 255 no hadits ke 2014 dari Abi Hurairah radliyallahu
`anhu).
Adapun waktunya Lailatul Qadar telah diberitakan oleh
Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam:
“Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir
dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya, lihat Fathul Bari
juz 4 hal. 259 hadits no. 2020 dari A’isyah radliyallahu `anha).
Demi meraih keutamaan yang Allah sediakan bagi kaum Mukminin
pada Lailatul Qadar, Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam
memberikan contoh teladan bagi ummatnya. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya hadits ke 2024 dari Aisyah radliyallahu
`anha: “Biasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam
bila memasuki sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, beliau mengencangkan
ikatan sarung beliau (yakni menjauhi istri-istrinya dari bermesraan karena
sibuk dengan ibadah di hari-hari itu) dan menghidupkan waktu malamnya (yakni
tidak tidur semalam suntuk untuk sibuk dengan aktifitas ibadah dan dzikir), dan
beliau juga membangunkan istri-istri beliau.”
Demikian Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam
memberikan contoh bagaimana kegigihan perjuangan mencapai keutamaan Lailatul
Qadar. Para Shahabat radliyallahu `anhum menceritakan beberapa
peristiwa Lailatul Qadar yang terjadi di jaman Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam masih hidup. Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya
(hadits ke 2016) meriwayatkan beberapa peristiwa tersebut sebagai berikut:
“Abu Sa’ied radliyallahu `anhu menceritakan: Pernah
kami beri’tikaf bersama Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam pada
mulanya sepuluh hari pertengahan bulan Ramadhan (yakni tgl. 11 s/d 20
Ramadhan). Maka beliau keluar dari masjid pada tanggal 20 Ramadhan pagi.
Setelah itu beliau berkhutbah di hadapan kami, dan beliau menyatakan:
“Sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku kapan Lailatul Qadar itu
terjadi, kemudian aku dijadikan lupa tentang berita itu. Oleh karena itu,
upayakanlah untuk bertemu dengannya pada sepuluh hari terakhir dari bulan
Ramadhan pada malam-malam tanggal ganjilnya. Dan sesungguhnya aku melihat dalam
mimpiku, bahwa tanda malam Lailatul Qadar itu adalah aku sujud di air
dan tanah (yakni di lumpur). Maka barangsiapa ingin beri’tikaf
bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam, maka hendaklah
ia kembali ke masjid.” Kamipun kembali masuk masjid dan waktu itu kami tidak
melihat sedikit pun awan di langit. Ketika malamnya, datanglah awan tebal dan
hujan pun turun sehingga curahan air hujan mengalir dari atap masjid, sedangkan
atap masjid waktu itu dari anyaman daun pohon korma. Shalatpun ditunaikan di
masjid waktu itu dan aku melihat Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi
wasallam sujud di air dan tanah, sehingga aku melihat bekas lumpur itu di
dahi beliau.” Dalam riwayat Muslim hadits ke 1167, Abu Sa’ied Al-Khudri
menceritakan: “Hujan turun kepada kami pada malam ke dua puluh satu Ramadhan,
sehingga airpun bercucuran dari sela-sela atap masjid membasahi tempat
Rasulullah biasa shalat padanya. Maka aku melihat beliau ketika selesai
menunaikan shalat shubuh berjama’ah dengan kami, wajah beliau berlumuran dengan
lumpur.”
Demikian riwayat Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih
keduanya, sehingga kita dapat menyimpulkan dari riwayat ini bahwa Lailatul
Qadar itu pernah terjadi di jaman Rasulillah shallallahu `alaihi wa
alihi wasallam pada malam tanggal 21 Ramadhan. Dan tandanya ialah turun
hujan pada malam harinya sehingga masjid Nabawi becek dengan air hujan dan
waktu itu masjid berlantaikan tanah pasir. Sehingga Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam dan para Shahabatnya menunaikan shalat subuh
dengan bersujud di atas lumpur.
Kemudian di tahun yang lainnya diriwayatkan pula oleh
Shahabat Nabi yang bernama Abdullah bin Unais, bahwa Lailatul Qadar terjadi
pada malam 23 Ramadhan. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
Shahihnya hadits nomor 1168 sebagai berikut:
“Abdullah bin Unais radliyallahu `anhu menceritakan
bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam telah bersabda:
“Telah ditunjukkan kepadaku kapan terjadinya Lailatul Qadar kemudian aku
dijadikan lupa tentang berita itu. Dan telah ditunjukkan kepadaku tandanya itu
ialah di waktu shalat subuhnya aku sujud di air dan tanah”. Maka turunlah hujan
pada kami pada malam dua puluh tiga bulan Ramadhan. Sehingga kami melihat Rasulullah
shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam di saat usai menunaikan shalat
subuh bersama kami, dahi dan hidung beliau berlumuran lumpur.” Imam Muslim
melengkapi riwayat ini dengan penegasan Buser bin Sa’ied yang meriwayatkan
hadits ini dari Abdullah bin Unais. Buser menegaskan: “Dan memang Abdullah bin
Unais menyatakan bahwa peristiwa itu pada malam dua puluh tiga.” Demikian Imam
Muslim meriwayatkan.
Juga telah diriwayatkan bahwa pernah terjadi di tahun yang
lainnya di jaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam masih
hidup, peristiwa Lailatul Qadar pada malam dua puluh empat Ramadhan.
Riwayat tersebut telah diterangkan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah
dalam Fathul Bari jilid 4 halaman 262 dalam menerangkan hadits Shahih
Al-Bukhari nomor 2022. Beliau menerangkan: “Dan telah diriwayatkan oleh Ahmad
dari riwayat Simak bin Harb dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, bahwa beliau
menceritakan: Aku didatangi seseorang dalam tidurku (yakni bermimpi –pent),
maka dikatakan kepadaku dalam mimpiku itu: “Malam ini adalah Lailatul Qadar.”
Maka akupun terbangun dari tidurku. Aku masih merasa mengantuk sehingga akupun
berpegangan pada sebagian telapak kaki Rasulullah yang saat itu sedang dalam
keadaan shalat. Aku berusaha melihat malam itu, dan ternyata malam itu adalah
malam ke dua puluh empat dari Ramadhan.” Dalam riwayat
Al-Bukhari dalam Shahihnya dari sanad Abdul Wahhab dari Ayyub dari
Khalid dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, bahwa beliau menyatakan: “Carilah Lailatul
Qadar itu pada malam dua puluh empat.”
Juga telah diberitakan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya
dari riwayat Zirru bin Hubaisy bahwa beliau menceritakan: “Aku pernah bertanya
kepada Ubay bin Ka’ab, aku katakan kepadanya: “Sesungguhnya saudaramu yaitu Ibnu Mas’ud telah berkata: Barangsiapa yang
melakukan qiyamul lail sepanjang tahun, dia akan berjumpa dengan Lailatul
Qadar.”
Menanggapi berita dari Ibnu Mas’ud tersebut, Ubai bin Ka’ab
berkata: “Semoga Allah merahmatinya. Yang dimaksud oleh beliau adalah agar
orang jangan menjagakan hari tertentu dan mengabaikan hari yang lainnya. Adapun
sesungguhnya dia telah mengetahui bahwa malam yang mulia itu terjadi di bulan
Ramadhan. Dan juga dia telah tahu bahwa malam itu terdapat di sepuluh malam
terakhir, yaitu malam ke dua puluh tujuh.”
Kemudian Ubai bin Ka’ab bersumpah dengan tanpa pengecualian,
bahwa malam yang mulia itu terjadi di malam ke dua puluh tujuh. Maka aku pun
bertanya kepada beliau: “Dengan dasar apa engkau katakan demikian itu wahai Aba
Mundzir?”
Beliau menjawab: “Dengan tanda-tanda yang telah diberitakan
kepada kami oleh Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam, yaitu
mata hari pada keesokan harinya terbit dengan tidak memancarkan sinar yang
kuat.”
Imam Muslim juga meriwayatkan dalam Shahihnya dari
Abi Hurairah radliyallahu `anhu: Kami pernah membincangkan Lailatul
Qadar di hadapan Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam,
maka beliau bersabda: “Siapakah dari kalian yang ingat suatu malam di bulan
Ramadhan di mana bulan nampak seperti separuh nampan yang bulat?” Dalam
menjelaskan hadits ini, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan:
Al-Qadhi berkata: “Di dalam hadits ini ada isyarat bahwa Lailatul Qadar
itu terjadi di hari-hari terakhir bulan Ramadhan. Karena bulan tidaklah tampak
separuh kecuali di hari-hari terakhir. Wallahu a`lam.”
Demikianlah berbagai peristiwa Lailatul Qadar yang
terjadi di jaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam.
Datangnya malam yang mulia itu berpindah-pindah dari tahun ke tahun di sepuluh
malam terakhir bulan Ramadhan. Dan datangnya malam yang mulia itu dengan
tanda-tanda yang telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa
alihi wasallam. Di antara tanda-tandanya ialah: langit terang tidak berawan
dan kemudian menjelang subuh turun hujan, bulan tampak separuh bulatan dan mata
hari keesokan harinya terbit dengan sinar yang lemah. Barangsiapa menemui
tanda-tanda tersebut di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, maka bangunlah
dari tidur dan bangunkan pula anggota keluarganya untuk menunaikan shalat
malam, doa dan mohon ampunan kepada Allah serta berdzikir dan membaca Al-Qur’an
sampai terbitnya fajar. Dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa
alihi wasallam bagi mereka yang menemui malam yang mulia ini untuk
banyak-banyak mengucapkan kalimat: “Allahumma innaka `afuwwun tuhibbul afwa
fa’fu `anna (Ya Allah Engkau Maha Pemaaf, Engkau senang memaafkan hamba-Mu,
maka maafkanlah kami Ya Allah).” Demikian At-Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunannya
dari A’isyah radliyallahu `anha.
PENUTUP
Demikianlah keistimewaan Ramadhan yang kiranya tergambar
bagi pembaca yang budiman dalam tulisan ini. Agar menjadi pendorong semangat menyambut
bulan yang mulia ini dengan berbagai amalan taat dan ibadah yang diikhlaskan
untuk Allah semata dan dengan tuntunan Rasulullah shallallahu `alaihi wa
alihi wasallam. Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai orang yang
sukses dan bahagia dunia dan akherat. Amin ya mujibas sa’ilin. Selamat
jumpa di medan juang meraih keutamaan Ramadhan.
Al-Ustadz Ja'far Umar Thalib
1). Diharamkan dari kebaikan itu
maksudnya terhalang untuk mencapai keutamaan amalan yang shalih karena
bengkoknya hati dan karena tidak mendapatkan hidayah dan taufiq dari Allah
sehingga tidak bersemangat untuk beramal shalih. Demikian diterangkan dalam
riwayat Ibnu Hibban dalam Shahihnya dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya
dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu bahwa Nabi shallallahu `alaihi
wa alihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Jibril `alaihis salam
telah datang kepadaku dan mengatakan “amin” hai Muhammad maka akupun menyatakan
“amin”.” (At-Targhib wat Tarhib, Al-Imam Al-Hafidh Al-Mundziri hadits ke
1501).
2). At-Tamhid, Ibnu Abdil
Bar jilid 7 halaman 468, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut cet. Ke 2 Th. 1424 H /
2003 M.
3). Fathul Bari, Ibnu Hajar
Al-Asqalani, jilid 4 halaman 104, Al-Maktabah As-Salafiyah, tanpa tahun.
4). Saling membacakan Al-Qur’an itu
maksudnya ialah diadakannya majlis untuk membaca Al-Qur’an, dimana salah
seorang dari majlis itu membaca Al-Qur’an sedangkan yang lainnya mendengarkan
bacaan itu sambil menyimak bacaan itu. Sehingga bila terjadi kesalahan bacaan,
yang lainnya menegur kesalahan tersebut, sebagaimana majlis itu dilakukan oleh
Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan Jibril `alaihis
salam.
5). Al-Minhaj fi Syarhi Shahih Muslim,
Al-Imam Muhyiddin Abi Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi, halaman 1426,
keterangan terhadap hadits ke 2308. Baitul Afkar Ad-Dauliyah, tanpa tahun.
6). Beri’tikaf itu maknanya ialah
tinggal di masjid wakaf yang biasa ditunaikan shalat Jum’at padanya dengan niat
ibadah karena Allah semata dan tidak keluar darinya sampai selesainya ibadah
I’tikaf tersebut. Dan ibadah ini dilakukan pada waktu menjelang masuknya
matahari di waktu maghrib memasuki malam 21 Ramadhan dan terus tinggal di
masjid itu sampai pada malam hari raya atau ketika keluar ke lapangan untuk
menunaikan shalat Iedul Fitri.
7). Penulis mendapati dalam Musnad
Imam Ahmad bin Hanbal hadits ke 2302 dengan sanadnya sebagaimana disebutkan
oleh Ibnu Hajar tersebut di atas, dimana dalam riwayat tersebut Ibnu Abbas
menyatakan bahwa malam yang beliau mimpi itu adalah malam ke dua puluh tiga dan
bukan malam dua puluh empat. Demikian dalam Musnad Ahmad yang ada pada
kami cetakan th. 2004 oleh penerbitnya Baitul Afkar Ad-Dauliyah Beirut Libanon.
Dalam hal ini bisa jadi kesalahan itu pada Musnad Imam Ahmad yang ada
pada cetakan yang ada di tangan kami dan itu adalah kemungkinan besar. Dan bisa
juga kesalahan pada manuskrip Musnad Ahmad yang ada pada Ibnu Hajar, dan
yang demikian lebih kecil kemungkinannya. Dan lebih kecil lagi kemungkinannya
dari itu adalah kalau kesalahan itu pada Ibnu Hajar dalam menukil riwayat
tersebut dari Musnad Ahmad. Penulis pernah mendengar As-Syaikh
Al-`Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah menasehatkan, bahwa
bila terjadi perbedaan antara apa yang dinukil oleh para Ulama’ terdahulu
dengan apa yang kita dapati dalam kitab-kitab cetakan masa kini, maka yang
dijadikan pegangan adalah apa yang dinukil oleh para Imam Ahlil Hadits terdahulu.
Karena mereka lebih teliti dan lebih hati-hati daripada para ahli yang mencetak
kitab-kitab itu sekarang.
8). Yakni saudara seagama sesama
Shahabat Nabi shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam wa radliyallahu
`anhum ajma`in.
sumber : http://suraumanbaulhuda.blogspot.com